Melalui kisah ini, kita menyelami risiko menjadi sosok yang tak terlihat sebagai seorang pekerja perawatan, terutama di tengah wabah mematikan. Kerentanan mereka semakin diperparah karena tidak dianggap sebagai seorang ‘pekerja’ yang memiliki hak-hak dasar oleh para majikan, serta ketergantungan mereka pada majikan untuk visa kerja.
Ilustrasi oleh: Tuan Nini
Teks oleh: Foong Li Mei
Ilustrasi oleh: Tuan Nini
Teks oleh: Foong Li Mei
Hai, Hijau. Kamu pasti kehausan.
Maaf aku belum bisa menyirammu selama dua minggu ini. Aku sakit, kena Covid-19.
Semoga saja Boss atau Mama sempat menyiramimu. Tapi mungkin tidak, soalnya beberapa daunmu mulai menguning.
Kamu kangen aku nggak? Aku kangen kamu!
Kamu satu-satunya yang bisa aku ajak ngobrol di rumah ini.
Ya, sebenarnya aku juga bisa ngobrol sama keluargaku lewat telepon, tapi Boss yang pegang HP-ku dan cuma mengizinkan aku menelepon ke rumah sebulan sekali, itu pun hanya 15 menit.
Dulu aku bisa jalan ke pasar pagi, ngobrol sama para pedagang atau PRT lain yang sedang berbelanja. Tapi sejak pandemi, pasarnya tutup.
Biasanya di rumah ini cuma ada Aunty selain aku. Dia ibunya Boss.
Kamu nggak pernah lihat dia karena dia sudah sakit sejak mengalami stroke, jadi terus-terusan di kamar atas.
Tapi aku juga nggak terlalu suka ngobrol sama dia, soalnya dia sering marah-marah.
Dia sering membentakku karena dianggap terlalu lama menggantikan popoknya, atau waktu aku mengelap badannya, atau ketika meyuapinya obat.
Aku yakin aku bisa gila kalau nggak ada kamu, Hijau!
Ya, kakakku mungkin bakal bilang aku sudah gila karena ngobrol sama tanaman.
Aku kangen kakakku.
Dua minggu terakhir aku tinggal sama dia ketika positif Covid-19. Dia juga bekerja menjadi PRT sepertiku, tapi di rumah keluarga lain.
Untungnya, majikan kakakku mengijinkan aku karantina di kamar lamanya.
Anak sulung mereka sudah pindah ke luar negeri, jadi kakakku dipindah ke kamar atas yang lebih besar.
Tapi kamar lamanya juga enak. Ukurannya mirip sama kamar yang aku tempatin sekarang, tapi aku kaget banget karena ada TV di dalam! Aku sudah lama banget nggak nonton TV dengan nyaman. Bahkan kamar itu punya kamar mandi sendiri!
Keluarga itu baik sekali; mereka tahu aku nggak punya tempat untuk tinggal.
Waktu Boss dan Mama lihat hasil tes Covid-ku yang positif, mereka langsung bilang aku nggak boleh tinggal di rumahnya.
Padahal aku sudah janji akan mengisolasi diri di kamar saja seharian. Tapi mereka tetap menyuruhku mencari tempat lain, seperti hotel murah di sekitar sini.
Tapi aku nggak punya uang, jadi aku menelepon kakakku minta tolong. Untungnya, waktu majikan kakakku mendengar soal ini, mereka bilang aku boleh tinggal di rumah mereka.
Sejujurnya, sikap Boss dan Mama bikin aku sedih.
Soalnya, aku tertular dari Aunty, yang minggu sebelumnya ketahuan positif Covid-19. Semua orang kaget, karena Aunty nggak pernah keluar rumah.
Mungkin saja Boss, Mama, atau salah satu anak mereka yang sebenarnya membawa virusnya tapi nggak kelihatan gejalanya. Keluarga yang lain menjaga jarak dari Aunty, tapi aku disuruh tetap merawat dia seperti biasa.
Aku menggunakan masker dan tetap mengerjakan tugasku.
Tapi sering banget aku merasa sendirian.
Seperti ketika Aunty sakit parah sampai muntah-muntah di badannya sendiri, dan aku butuh bantuan mengangkat dan membersihkan dia dengan benar. Atau waktu dia kelihatan susah napas. Aku bingung harus gimana.
Aku tanya Boss dan Mama, tapi mereka cuma bilang aku harus cari cara sendiri karena mereka nggak mau repot bawa Aunty ke rumah sakit.
Aunty juga batuk-batuk parah sampai aku harus jagain dia duduk semalaman agar bisa batuk dan mengeluarkan lendirnya
Tapi begitu aku yang sakit, aku malah disuruh pergi. Hijau, kamu juga pasti akan merasa marah, kan?
Tapi kamu nggak bakal ketularan Covid-19, ya kan? Bersyukurlah, karena rasanya benar-benar nggak enak. Tenggorokanku rasanya kering banget kayak padang pasir, dan seluruh tubuhku rasanya terbakar.
Tapi aku masih beruntung. Kakakku bilang, dua paman kami di kampung meninggal karena virus ini.
Aku menangis waktu mendengar kabar tersebut. Dua paman itulah yang dulu membantu membayar sebagian biaya ke agen perekrutan supaya aku bisa datang ke Malaysia untuk bekerja.
Rasanya sakit sekali karena aku bahkan tidak tahu mereka sudah meninggal; terakhir kali aku diizinkan menelpon keluarga itu bulan lalu.
Tapi meskipun aku tahu, aku tetap tidak akan bisa pulang untuk memberi penghormatan terakhir—Boss pasti akan marah kalau aku minta libur beberapa hari.
Menurutku, virus Covid-19 sangat berbahaya karena mata manusia tidak bisa melihatnya. Kalau Boss dan Mama bisa melihat virusnya, mungkin mereka akan berhenti sering-sering bertemu teman atau mengadakan pesta di rumah. Aku benar-benar tidak mau terinfeksi lagi.
Tapi keinginan dan kebutuhanku, sama seperti virus itu, juga tidak terlihat oleh Boss dan Mama. Karena mereka tidak melihatnya, jadi mereka menganggapnya tidak ada.
Seperti betapa aku kangen keluarga di rumah dan ingin bisa lebih sering bicara dengan mereka. Atau seperti saat aku minta libur satu hari Minggu setiap dua minggu sekali untuk istirahat, tapi Boss dan Mama malah pergi keluar dan menyerahkan Aunty ke aku.
Bukan cuma kebutuhanku—kadang aku merasa semua yang aku kerjakan juga tak terlihat oleh keluarga ini. Mereka seperti tidak tertarik mengenalku.
Mereka hanya bicara padaku kalau ada yang mereka ingin aku kerjakan, atau saat mereka marah karena aku belum mengerjakannya, padahal aku masih sibuk mengerjakan hal lain.
Aku merasa seperti hantu di latar belakang, membersihkan kamar mandi, memasak, beres-beres rumah, mencuci baju, memandikan dan menyuapi anak, membersihkan garasi mobil, bahkan memperbaiki pipa air yang rusak.
Semua pekerjaan rumah tangga aku kerjakan supaya Boss dan Mama bisa fokus pada karier mereka.
Pernah suatu kali, waktu salah satu anak sakit, Mama menyuruhku ikut kelas les online atas namanya, supaya nantinya aku bisa mengajarinya. Waktu aku berhasil mengikuti kelas itu dengan baik, Mama kagum.
Aku bilang ke Mama kalau aku lulus SMA dengan nilai sempurna, dan sebenarnya aku dulu mau kuliah
Tapi ayahku kehilangan pekerjaan, jadi aku akhirnya datang ke Malaysia untuk bekerja sebagai PRT.
Hasilnya? Malah tambah kerjaan. Mama sekarang menyuruhku memeriksa PR anak-anaknya setiap malam setelah mereka tidur.
Jangan mengeluh, aku bilang ke diriku sendiri. Pekerjaan ini sekarang adalah rumahku, jadi aku harus hati-hati. Kalau aku bikin Boss atau Mama marah, bisa-bisa aku dikirim pulang ke negaraku.
Padahal keluargaku butuh penghasilanku. Aku harus membantu membayar operasi lutut ibuku, dan dua adik laki-lakiku sebentar lagi akan masuk kuliah.
Tapi aku tahu, pekerjaan nggak harus seberat ini. Kakakku bilang aku juga punya hak. Tapi ujung-ujungnya, kami berdua sadar, kalau aku minta perlakuan yang lebih baik, bisa saja majikanku malah memecatku.
Mereka tidak sebaik majikan kakakku. Kakakku masih diperbolehkan memegang paspor dan HP-nya!
Memang sih, dulu waktu Covid-19 parah, dia juga disuruh bersih-bersih banyak hal dan desinfeksi, katanya semua belanjaan harus disemprot, dan lorong rumah harus dibersihkan tiga kali setiap kali majikannya pulang.
Tapi kelihatannya majikannya paham kalau dia juga bisa capek; mereka memberinya libur seminggu sekali dan waktu istirahat di malam hari.
Aku juga ingin punya libur satu hari setiap minggu, dan bisa berhenti kerja di malam hari untuk bersantai. Aku ingin bekerja di tempat yang aman, yang peduli dengan kesehatanku.
Aku ingin majikan yang bisa melihat bahwa aku juga manusia, punya kebutuhan yang sama seperti mereka, istirahat, hiburan, teman, dan perhatian. Aku ingin diakui sebagai pekerja yang punya hak dasar.
Aku tahu keinginanku itu bisa tercapai. Kakakku sudah merasakannya. Tapi semua itu tergantung apakah majikan bisa benar-benar melihat kita dan kebutuhan kita.
Tidak terlihat itu rasanya sangat menakutkan. Mungkin kamu juga mengerti, Hijau, saat tidak ada yang menyiramimu selama dua minggu.
Oh, aku harus pergi. Kudengar Boss teriak-teriak lagi. Sepertinya dia kehilangan stik game-nya lagi.
Aku senang kamu masih hidup, Hijau.
Aku senang kita berdua masih hidup